Senin, 20 Juli 2009

Bercermin Pada Bah Muchit

Bercermin Pada Bah Muchit
Oleh : Nanang Zainal Arifin

Gus Dur ketika masih menjadi Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa pernah mengatakan bahwa saat ini Kyai yang memiliki Pondok Pesantren besar semakin dekat dengan penguasa tapi semakin jauh dengan rakyat. Peran mereka sebagai pengasuh dan pembela rakyat telah digantikan oleh Kyai Kampung yang hanya memiliki Musola atau Masjid.
Dalam buku yang berjudul “ Kyai Oposan “ karya Subhan MD diceritakan tentang keluhan KH Mustofa Bisri bahwa sekarang sudah jarang Kyai yang belani rakyat. Selain itu KH Hasyim Muzadi selaku ketua PBNU pernah mengatakan “ sekarang pendapat Kyai disesuaikan dengan pendapatanya” . Kritikan orang yang berkategori ulama pada ulama lainnya menujukkan bahwa dizaman Globalisasi ini lebih banyak ulama dunia daripada ulama akhirat.
Selain dikritisi dari amalnya yang hanya berorientasi dunia bukan akherat juga dikritisi karakter kepemipinan kyai yang otoriter. Kritikan itu bisa kita lihat Yang Pertama dari filem yang diambil dari novel berjudul “ Perempuan Berkalong Sorban “ Yang Kedua dari novel yang berjudul “ Jadilah Purnamaku Ning “ yang pengarangnya juga alumni Pondok Pesantren yaitu Khilma Anis. Yang Ketiga dari hasil penelitian Disertasi salah seorang Kyai Di Probolingga disimpulkan bahwa Kyai yang tinggal semakin dipedalaman maka karakter kepemipinannya makin otoriter.
Adapun definisi Kyai berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu “ Kiya – Kiya “ artinya orang yang dihormat, sedangkan pemakaiannya dipergunakan Yang Pertama Benda atau hewan yang dikeramatkan seperti nama gajah dikebun binatang Gembira Loka Yogyakarta yaitu Kyai Rebo dan Kyai Wage. Yang Kedua Untuk orang yang sudah tua. Yang Ketiga pada orang yang memiliki keahlian dalam bidang agama, sedangkan menurut pendapat Manfred Ziemek pengertian Kyai adalah sebagai pendiri dan pemimpin sebuah pesantren serta sebagai muslim terpelajar yang telah membaktikan hidupnya dijalan Allah. Namun dalam masyarakat pada umumnya kata Kyai disejajarkan dengan ulama.
Menyoroti ulama maka secara otomatis mengkritisi Nahdlatul Ulama. Karena diantara Ormas – Ormas Islam yang paling banyak stok ulamanya adalah NU. Karena itu penulis ingin membuktikan bahwa tidak semua ulama sekarang terlalu cinta dunia dan memiliki kharakter kepemipinan yang otoriter. Salah satu ulama yang bisa diteladani adalah KH Muchit Muzadi yang saat ini menjabat Dewan Mutasyar PBNU. Beliau merupakan kakak kandung KH Hasyim Muzadi ( Ketua Umum PBNU dan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al – Hikam Malang ).
Penulis mengagumi Bah Muchit karena Yang Pertama ketika ketika menjadi aktifis HMI dan ditingkat pusat ada konflik antara PBHMI dengan pendukung Gus Dur, satu – satunya ulama NU yang menerima dengan tangan terbuka silahturahmi yang dilakukan anak – anak HMI adalah beliau. Yang Kedua Penulis kagum terhadap kesederhanaan beliau dari Tempat Tinggal, perilaku dan cara berpakaian. Penulis menyaksikan dengan mata kepala sendiri rumahnya yang sederhana di Jalan Kalimantan Jember dekat Masjid Sunan Kalijaga serta perilaku dan cara berpakaian ketika menghadiri undangan seminar dengan pemateri Almarhum Prof Dr H Nurcholis Masjid yang diselenggarakan oleh pengurus HMI Cabang Jember. Tidak ada jubah dan sorban yang melilit kepala. Pakaiannya sederhana seperti Kyai Kampung dari desa. Padahal beliau adalah Mutasyar PBNU periode 2004 sampai dengan 2009, serta pernah menjadi Rois Syuriah PBNU periode 1994 sampai dengan 2004.
Selain mengamati ketelaudanan Sang Kyai dengan mata kepala sendiri penulis juga membaca buku tentang pemikiran Kyai Muchit yang berjudul “ Menjadi NU Menjadi Indonesia “ karya Prof Dr Ayu Sutarto ( Budayawan Unej ) dan buku berjudul “ Berjuang Sampai Akhir Kisah Seorang Bah Muchit “ karya Mohamad Subhan. Kalau buku biografi seorang Kyai kebanyakan menceritakan keanehan, kesaktian, dan keajaibannya. Disini buku tersebut menggambarkan keteguhan seorang ulama dalam memegang prinsip hidup, Tidak ada kesaktian seorang Bah Muchit. Dan disitulah menurut penulis kelebihan dari buku yang mengkisahkan seorang ulama. Karena yang perlu diteladani kisah ulama dan nabi adalah ketelaudanan sikap hidupnya bukan karomah dan mukzizat. Karomah dan Mukzizat itu adalah bonus dari Allah bagi hamba – hambanya yang beriman. Dan tidak semua hamba yang beriman mendapatkan karomah- Nya. Dalam melaksanakan amal baik yang paling utama kita mengharapkan ridho dari Allah SWT.
Adapun Hal – Hal yang bias diteladani dari KH Muchit Muzadi antara lain adalah :

1. Keikhlasan Berjuang di NU
Dari sisi materi kekayaan beliau bisa disejajarkan dengan Mantan Ketua Umum Muhamadiyah yaitu KH AR Fahrudin dan KH Agus Salim seorang diplomat ulung. Sampai saat ini beliau belum punya rumah sendiri. Tempat tinggal yang ditempati sekarang adalah rumah Waqof milik masjid, sehingga yang menenpati rumah tersebut punya kewajiban untuk ngopeni masjid. Padahal beliau pernah menjadi Sekretaris daerah Tuban dan Pejabat di IAIN Jember.
2. Sosok Kyai Yang Demokratis
Kyai Muchit sangat demokratis terhadap anak – anaknya dalam memilih jalur pendidikan yang ia sukai. Tidak otoriter seperti ayah Anisah yang pemimpin sebuah Pondok Pesantren dalam novel Perempuan Berkalong Sorban.
3. Tidak Melibatkan Diri Dalam Konflik Yang Terjadi di NU
Ketika PKB dilanda konflik maka KH Muchit Muzadi tidak pernah berpihak kepada pihak manapun padahal beliau yang membacakan deklarasi pendirian Parta Kebangkitan Bangsa.
4. Sosok Kyai Muchit bukan sosok Kyai yang nyungkani atau membuat orang
lain menjadi rikuh.
Dari penuturan Mohamad Subhan bahwa ketika sang kyai datang ke kantor PWNU Jawa Timur maka anak – anak muda NU selalu berebutan untuk berdialog dengannya. Dan beliau selalu berkelakar “ coba anda tanyakan padaku tentang NU mumpung saya masih hidup.
5. Bersikap Terbuka Dengan Orang Islam Diluar NU
Istri beliau adalah anak tokoh Muhamadiyah di Yogyakarta, dan alumni sekolah dibawah yayasan Muhamadiyah.
6. Dan Lain – lain
Demikian sosok Bah Muchit dari Jember yang bisa memberikan ketelaudanan pada generasi muda Nahdlatul Ulama. Sehingga tidak ada ceritanya anak muda karena kecewa pada tokoh NU ( Sikapnya tidak bisa diteladani ) pindah haluan keormas lain.. Dalam pengamatan penulis banyak orang dilahirkan dari kultur Nahdliyin pindah ke jalur lain seperti FPI, MMI, HTI, Salafy, Jamaah Tabligh karena Yang Pertama kecewa pada elit NU yang sering berkonflik dan rebutan iwak di NU. Mereka menjadikan NU sebagai tempat penghidupan bukan tempat perjuangan. Yang Kedua kurangnya pemahaman tentang ajaran Nahdliyin sehingga ketika ada pemikiran lain yang dirasa lebih rasional maka dia meninggalkan pemikiran lama.

( Penulis Adalah Anggota Forum Lingkar Pena dan Pengurus Gerakan Pemuda Ansor Kecamatan Rejotangan )


Curiculum Vitae








Nama : Nanag Zainal Arifin, SPd
Tempat Tanggal Lahir : Tulungagung 15 Juli 1978
Alamat : Ariyojeding, Rejotangan, Tulungagung
Pekerjaan : Guru MAN Kota Blitar
Agama : Islam
No Telepon : ( 0355 ) 399 216
No HP : 085649573416




Minggu, 12 Juli 2009

Profil Seorang Guru

Nama : Nanang Zainal Arifin SPd
Panggilan : Nanang
TTL : Tulungagung 15 Juli 1978
Alamat : Ariyojeding Rejotangan Tulungagung
Istri : Nurul Kiptiyah SPd
Email : Nanangarifin42@yahoo.co.id
Telepon : 0355 399 216/ 085649573416

Aktifitas
Guru MAN Kota Blitar
Instuktur Karya Ilmiah Remaja MAN Kota Blitar
Sekretaris Madrasah Hidayatul Mubtadhien Ariyojeding Rejotangan Tulungagung
Sekretaris LBB MHM Ariyojeding
Instruktur LBB MHM Ariyojeding
Staf Lingkungan Hidup Gerakan Pemuda Ansor Anak Cabang Rejotangan
Staf Penelitian dan Pengembangan Banser SATKORANCAB Rejotangan Tulungagung
Forum Lingkar Pena Cabang Blitar
Penulis Artikel Opini Radar Blitar Jawa Pos

Pengalaman Menulis
" Mahasiswa Harapan Bangsa" dimuat di Majalah Lensa
" Poligami Suatu Solusi " dimuat di Majalah Lensa
" Sidang Intimewa Buat Gus Dur " dimuat di Radar Jember Jawa Pos
" Meyimak Budaya Pondok Pesantren " dimuat di Radar Jember Jawa Pos
" Lebaran Dalam Tinjauan Syariat dan Budaya " dimuat di Buletin An Natiq
" Saints dan Teknologi dalam Tinjauan Islam " dimuat di Majalah An Natiq
" Belajar Dari NU Jember " dimuat di Radar Blitar Jawa Pos
" Caleg Nebeng NU " dimuat di Radar Blitar Jawa Pos
" Fenomena Tawuran Siswa " dimuat di Radar Blitar Jawa Pos
" Wabah Sinetron Muslimah " dimuat di Radar Blitar Jawa Pos
" Gagal Unas Akibat Hamil " dimuat di Radar Blitar Jawa Pos
" Paket C Bagi Siswi Hamil " dimuat di Radar Blitar Jawa Pos

Pendidikan Formal
SDN Ariyojeding 1
SMPN 1 Rejotangan
MAN Kota Blitar
Unej

Pengalaman Organisasi
1. Wakil Sekretaris Umum HMI Cabang Jember Komisariat FKIP
2. Ketua Bidang PPPA HMI Cabang Jember Komisariat FKIP
3. Departemen Kekaryaan HMI Cabang Jember
4. Keluarga Persilatan Ki Ageng Pandang Alas Cabang Blitar
5. Forum Lingkar Pena Cabang Blitar
6. Departemen Lingkungan Hidup Gerakan Pemuda Ansor Anak Cabang Rejotangan
7. Depertemen LITBANG SATKORANCAB Rejotangan
8. Sekretaris LBB MHM Ariyojeding


Sabtu, 04 Juli 2009

Tulisan Istriku

MENGKAJI ULANG UJIAN NASIONAL ( UN)

Oleh : Nurul Kiptiyah , S.Pd

Pelaksanaan Ujian Nasional ( UN ) di SMU dan yang sederajat baru saja dilaksanakan. Ritual tahunan itu telah mampu membuat phobia tersendiri pada setiap penyelenggaraannya. Digit angka standar kelulusan yang semakin meningkat cukup membuat stress banyak pihak. Dan pada dasarnya UN telah membuat arah pendidikan SMU menjadi bias. Hal ini terlihat dari mata pelajaran di jadwalkan untuk UN. Tetapi UN masih diperlukan hanya diperlukan perbaikan sistem pelaksanaannya.

Pada masa reformasi pelaksanaa UN dianggap sebagai rutinitas yang mubasir. Pemerintah selayaknya banyak menuai kritikan, karena ternyata UN lebih banyak memberikan mudharat. Keputusan pemerintah untuk tetap mengadakan UN sempat mendapat tamparan kontroversial dari salah satu anggota dewan komisi X dan koordinator koalisi untuk pendidikan. Sementara disisi lain pemerintah tetap memandang diperlukannya UN sebagai alat kontrol mutu pendidikan, karena pada masa euphoria otonomi dikhawatirkan sekolah akan berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas.

Dengan diiringi tingginya standar kelulusan memang cukup membuat peserta didik merinding. Disin sebenarnya kita semua patut bertanya seperti apakah kualitas pendidikan kita ini? Biang kenaikan standar UN tersebut adalah rendahnya mutu pendidikan dengan tradisi lulus saratus persen. Persepsi yang terjadi di masyarakat terhadap sekolah yang bermutu berangkat dari prosentase kelulusannya. Sehingga sekolah akan dipaksa agar siswanya lulus seratus persen. Maka terjadilah manipulasi nilai yang mencengangkan.

Jika kualitas pendidikan kita hanya dipermainkan seputar angka dan prosentase, kita akan melihat pendidikan kehilangan maknanya dalam membangun manusia Indonesia. Karena tiga tahun belajar mencari ilmu , hanya ditentukan pada beberapa bari saja. Lebih diperparah lagi adalah adanya pelabelan siswa berstandarkan hasil UN. Jika ada siswa mampu mengerjakan soal-soal yang dibuat pemerintah dalam rangka penentuan standar nasional maka ia akan mendapatkan label siswa yang pintar sementara siswa yang tidak dapat lulus UN mendapatkan label siswa yang bodoh dan gagal. Padahal dalam kesehariannya mereka cukup mampu menunjukkan prestasi akademiknya.

Pernyataan itu terus terang cukup nemohok pengertian kita tentang psikologi “orang-orang yang bodoh dan gagal”. Howard Gadner seorang pakar psikologi dan pendidikan jebolan universitas Harvard mengatakan bahwa pada dasarnya Intellegensi itu tidaklah tunggal tetapi terdiri atas beberapa dimensi yang berbeda. Yang pada dunia pendidikan hal ini sering disebut Multiple Intellegences atau Kecerdasan majemuk. Artinya disini setiap siswa memliki potensi yang berbeda, jadi siswa yang tidak dapat mengerjakan UN dan tidak lulus tidaklah bijak jika kita sebut bodoh atau gagal. Karena UN hanya menyaratkan satu jenis kecerdasan tertentu sebagai syarat kelulusannya. Dan tentunya pelabelan siswa yang lulus UN pintar dan yang tidak lulus bodoh sanagt menyedihkan.

Profesor Winarno Surachman pengamat pendidikan yang juga Dosen Universitas Negeri Jakarta menyatakan bahwa pemaksaan pelaksanaan UN bisa menimbulkan persoalan serius baik bagi guru maupun siswa. Karena UN seolah –olah telah dianggap parameter sebuah mutu pendidikan nasioal. Selian itu UN juga terlihat menjadi rancu jika kita melihat pada UU yang telah memberikan hak dan keleluasaan kepada daerah untuk melakukan kebijakan pendidikan. Soal-soal UN dibuat oleh pemerintah pusat dan didistribusikan ke daerah-daerah dengan pelaksanaan yang dijadwalkan secara nasional.Tetapi UN tidak mempunyai kekuatan menilai secara nasional. Peningkatan pendidikan harus dimulai dari daerah-daerah masing-masing jika pusat tidak percaya kepada daerah pendidikan kita akan sulit maju.

Akan tetapi jika UN memang masih diperlukan untuk dilaksanakan maka ada beberapa petimbangan. Sebelum melakjsanakan UN pmrintah pusat harus melakukan penelitian yang menyeluruh dan mendalam tentang kualitas pendidikan di setiap daerah dengan mempertimbangkan kondsisi daerah trsebut. Dari sinilah kemudian akan trumuskan sebauh standar nasional yang benar-benar mewakili daerah. Selain itu UN bukanlah penentu kelulusan, karena UN tidaklah menggambarkan dinamika pendidikan sekolah. UN dapat dipakai sebagai cara kita mengatahui pengetahuan siswa. Lebih dari itu yang bertanggung jawab terhadap kelulusan siswa lebih baik diberikan kepada pihak-pihak yang paling mengerti tentang siswa itu sendiri yaitu guru. Guru yang selama bertahun-tahun membimbing siswa nyatanya tak mampu melakukan apa-apa ketika siswanya tidak lulus UNk karena penentu kelulusan UN bukan pada Guru. Adanya disparatis yang tinggi antar daerah di Indonesia menjadikan mutu sekolah anatar daerah berbeda. Hal ini tentunya juga karena adanya faktor kualitas guru, sarana, dana, fasilitas dan juga siswanya. Melihat hal ini seharusnya pemerintah dapat membuat standar kelulusan yang berbeda dengan memperhatikan kondisi riil di daerah masing-masing. Penetapan seperti ini akan sinkron dengan diproduknya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP) yang mencoba menggali potensi dan kearifan local ( local wisedom)

Tes berskala nasional untuk mengukur standar kualitas pendidikan tetap diperlukan , namun hasil tes itu handaknya tidak dikaitkan dengan kelulusan seorang anak didik. Tes standar itu seharusnya juga melibatkan lembaga-lembaga independen diluar Diknas. Menurut Lody Paat dari koalisi untuk pendidikan, sebaiknya kelulusan diserahkan kepada sekolah, sementara hasil tes nasional digunakan untuk pemetaan kualitas pendidikan yang menjadi dasar bagi pengembangan kebijakan pendidikan. Hal ini sesuai dengan amanah UU Sisdiknas th.2003 no 20 pasal 58 “ Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”

UN hanyalah produk scholastic bukan penentu mutu pendidikan. Karena untuk jaminan mutu pendidikan diperlukan juga faktor broad base education yaitu pendidikan ketrampilan yang jangkaunnya lebih luas dari ilmu yang diperoleh di sekolah. Peningkatan mutu pendidikan harus dilihat juga dari struktur pendidikan secara menyeluruh termasuk non akademis, proses dan input pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan tidak sesederhana dengan peningkatan nilai dan angka. Karena ternyata tidak ada relevansi antara hasil UN dengan penerimaan di Perguruan Tinggi sekalipun. Rupanya pihak Perguruan Tinggipun mulai tidak percaya dengan hasil UN. Pendidikan yang menghargai siswanya tentu tidak akan menukar intelektual dan potensi siswa dengan digit angka-angka yang menakutkan. Pendidikan yang memanusiakan manusia bukan hanya membuat orang pintar dan cerdas tetapi juga menghargai perbedaan inividu. Karena ternyata selembar ijazah dengan hiasan nilai-nilai dan angka-angka yang indah saja tak cukup sebagai solusi permasalahan hidup mereka kelak. Maka selayaknyalah pemerintah selaku pembuat kebijakan melakukan evaluasi dan mengkaji ulang pelaksanaan Ujian Nasional. ( Penulis adalah salah satu aktivis Forum Lingkar Pena Blitar dan alumi HMI Badko Jawa Timur )




Biodata penulis

Nama lengkap : Nurul Kiptiyah,S.Pd

Nama panggilan : Nu-Qi

Alamat rumah : Ariyojeding – Rejotangan - Tulungagung

Pekerjaan : Guru SD

Phone : 085 645757783

Email : nuqi_n@yahoo.co.id

(Penulis adalah salah satu aktivis Forum Lingkar Pena Cab.Blitar)