Sabtu, 04 Juli 2009

Tulisan Istriku

MENGKAJI ULANG UJIAN NASIONAL ( UN)

Oleh : Nurul Kiptiyah , S.Pd

Pelaksanaan Ujian Nasional ( UN ) di SMU dan yang sederajat baru saja dilaksanakan. Ritual tahunan itu telah mampu membuat phobia tersendiri pada setiap penyelenggaraannya. Digit angka standar kelulusan yang semakin meningkat cukup membuat stress banyak pihak. Dan pada dasarnya UN telah membuat arah pendidikan SMU menjadi bias. Hal ini terlihat dari mata pelajaran di jadwalkan untuk UN. Tetapi UN masih diperlukan hanya diperlukan perbaikan sistem pelaksanaannya.

Pada masa reformasi pelaksanaa UN dianggap sebagai rutinitas yang mubasir. Pemerintah selayaknya banyak menuai kritikan, karena ternyata UN lebih banyak memberikan mudharat. Keputusan pemerintah untuk tetap mengadakan UN sempat mendapat tamparan kontroversial dari salah satu anggota dewan komisi X dan koordinator koalisi untuk pendidikan. Sementara disisi lain pemerintah tetap memandang diperlukannya UN sebagai alat kontrol mutu pendidikan, karena pada masa euphoria otonomi dikhawatirkan sekolah akan berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas.

Dengan diiringi tingginya standar kelulusan memang cukup membuat peserta didik merinding. Disin sebenarnya kita semua patut bertanya seperti apakah kualitas pendidikan kita ini? Biang kenaikan standar UN tersebut adalah rendahnya mutu pendidikan dengan tradisi lulus saratus persen. Persepsi yang terjadi di masyarakat terhadap sekolah yang bermutu berangkat dari prosentase kelulusannya. Sehingga sekolah akan dipaksa agar siswanya lulus seratus persen. Maka terjadilah manipulasi nilai yang mencengangkan.

Jika kualitas pendidikan kita hanya dipermainkan seputar angka dan prosentase, kita akan melihat pendidikan kehilangan maknanya dalam membangun manusia Indonesia. Karena tiga tahun belajar mencari ilmu , hanya ditentukan pada beberapa bari saja. Lebih diperparah lagi adalah adanya pelabelan siswa berstandarkan hasil UN. Jika ada siswa mampu mengerjakan soal-soal yang dibuat pemerintah dalam rangka penentuan standar nasional maka ia akan mendapatkan label siswa yang pintar sementara siswa yang tidak dapat lulus UN mendapatkan label siswa yang bodoh dan gagal. Padahal dalam kesehariannya mereka cukup mampu menunjukkan prestasi akademiknya.

Pernyataan itu terus terang cukup nemohok pengertian kita tentang psikologi “orang-orang yang bodoh dan gagal”. Howard Gadner seorang pakar psikologi dan pendidikan jebolan universitas Harvard mengatakan bahwa pada dasarnya Intellegensi itu tidaklah tunggal tetapi terdiri atas beberapa dimensi yang berbeda. Yang pada dunia pendidikan hal ini sering disebut Multiple Intellegences atau Kecerdasan majemuk. Artinya disini setiap siswa memliki potensi yang berbeda, jadi siswa yang tidak dapat mengerjakan UN dan tidak lulus tidaklah bijak jika kita sebut bodoh atau gagal. Karena UN hanya menyaratkan satu jenis kecerdasan tertentu sebagai syarat kelulusannya. Dan tentunya pelabelan siswa yang lulus UN pintar dan yang tidak lulus bodoh sanagt menyedihkan.

Profesor Winarno Surachman pengamat pendidikan yang juga Dosen Universitas Negeri Jakarta menyatakan bahwa pemaksaan pelaksanaan UN bisa menimbulkan persoalan serius baik bagi guru maupun siswa. Karena UN seolah –olah telah dianggap parameter sebuah mutu pendidikan nasioal. Selian itu UN juga terlihat menjadi rancu jika kita melihat pada UU yang telah memberikan hak dan keleluasaan kepada daerah untuk melakukan kebijakan pendidikan. Soal-soal UN dibuat oleh pemerintah pusat dan didistribusikan ke daerah-daerah dengan pelaksanaan yang dijadwalkan secara nasional.Tetapi UN tidak mempunyai kekuatan menilai secara nasional. Peningkatan pendidikan harus dimulai dari daerah-daerah masing-masing jika pusat tidak percaya kepada daerah pendidikan kita akan sulit maju.

Akan tetapi jika UN memang masih diperlukan untuk dilaksanakan maka ada beberapa petimbangan. Sebelum melakjsanakan UN pmrintah pusat harus melakukan penelitian yang menyeluruh dan mendalam tentang kualitas pendidikan di setiap daerah dengan mempertimbangkan kondsisi daerah trsebut. Dari sinilah kemudian akan trumuskan sebauh standar nasional yang benar-benar mewakili daerah. Selain itu UN bukanlah penentu kelulusan, karena UN tidaklah menggambarkan dinamika pendidikan sekolah. UN dapat dipakai sebagai cara kita mengatahui pengetahuan siswa. Lebih dari itu yang bertanggung jawab terhadap kelulusan siswa lebih baik diberikan kepada pihak-pihak yang paling mengerti tentang siswa itu sendiri yaitu guru. Guru yang selama bertahun-tahun membimbing siswa nyatanya tak mampu melakukan apa-apa ketika siswanya tidak lulus UNk karena penentu kelulusan UN bukan pada Guru. Adanya disparatis yang tinggi antar daerah di Indonesia menjadikan mutu sekolah anatar daerah berbeda. Hal ini tentunya juga karena adanya faktor kualitas guru, sarana, dana, fasilitas dan juga siswanya. Melihat hal ini seharusnya pemerintah dapat membuat standar kelulusan yang berbeda dengan memperhatikan kondisi riil di daerah masing-masing. Penetapan seperti ini akan sinkron dengan diproduknya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP) yang mencoba menggali potensi dan kearifan local ( local wisedom)

Tes berskala nasional untuk mengukur standar kualitas pendidikan tetap diperlukan , namun hasil tes itu handaknya tidak dikaitkan dengan kelulusan seorang anak didik. Tes standar itu seharusnya juga melibatkan lembaga-lembaga independen diluar Diknas. Menurut Lody Paat dari koalisi untuk pendidikan, sebaiknya kelulusan diserahkan kepada sekolah, sementara hasil tes nasional digunakan untuk pemetaan kualitas pendidikan yang menjadi dasar bagi pengembangan kebijakan pendidikan. Hal ini sesuai dengan amanah UU Sisdiknas th.2003 no 20 pasal 58 “ Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”

UN hanyalah produk scholastic bukan penentu mutu pendidikan. Karena untuk jaminan mutu pendidikan diperlukan juga faktor broad base education yaitu pendidikan ketrampilan yang jangkaunnya lebih luas dari ilmu yang diperoleh di sekolah. Peningkatan mutu pendidikan harus dilihat juga dari struktur pendidikan secara menyeluruh termasuk non akademis, proses dan input pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan tidak sesederhana dengan peningkatan nilai dan angka. Karena ternyata tidak ada relevansi antara hasil UN dengan penerimaan di Perguruan Tinggi sekalipun. Rupanya pihak Perguruan Tinggipun mulai tidak percaya dengan hasil UN. Pendidikan yang menghargai siswanya tentu tidak akan menukar intelektual dan potensi siswa dengan digit angka-angka yang menakutkan. Pendidikan yang memanusiakan manusia bukan hanya membuat orang pintar dan cerdas tetapi juga menghargai perbedaan inividu. Karena ternyata selembar ijazah dengan hiasan nilai-nilai dan angka-angka yang indah saja tak cukup sebagai solusi permasalahan hidup mereka kelak. Maka selayaknyalah pemerintah selaku pembuat kebijakan melakukan evaluasi dan mengkaji ulang pelaksanaan Ujian Nasional. ( Penulis adalah salah satu aktivis Forum Lingkar Pena Blitar dan alumi HMI Badko Jawa Timur )




Biodata penulis

Nama lengkap : Nurul Kiptiyah,S.Pd

Nama panggilan : Nu-Qi

Alamat rumah : Ariyojeding – Rejotangan - Tulungagung

Pekerjaan : Guru SD

Phone : 085 645757783

Email : nuqi_n@yahoo.co.id

(Penulis adalah salah satu aktivis Forum Lingkar Pena Cab.Blitar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar